Mengapa penting mendukung RUU PPRT Disahkan?

rumahperempuandananak.or.id – Pertama, PRT adalah hal yang jarang dibicarakan padahal dekat dengan kehidupan kita. Meski datang dari desa, sehari-hari saya mengenal pekerjaan seorang PRT. Setidaknya ada beberapa orang dalam satu RT (Rukun Tetangga) yang berprofesi sebagai PRT, meski sebagian bekerja secara paruh waktu.

Kedua, PRT tidak lepas dari stigma PRT, beban domestik perempuan dan kemiskinan. Tidak banyak yang menghormati PRT karena dianggap bukan pekerjaan yang prestisius atau bergengsi. Sementara itu Sebagian besar PRT adalah perempuan karena perempuan selalu dilekatkan dengan kerja-kerja domestik. Hal ini bisa terjadi karena lingkar kemiskinan perempuan yang sistemik. Stigma bahwa perempuan adalah makhluk domestik menempatkan mereka untuk tidak melanjutkan pendidikan sehingga mereka tidak memiliki pilihan pekerjaan lain dan oleh sebab itu mereka terjebak dalam lingkar kemiskinan yang tidak pernah putus.

Ketiga, Upah yang tidak layak. Mereka menerima beban ganda. Pekerjaan yang dibebankan kepada mereka seringkali di luar batas kemampuannya namun tidak selaras dengan upah yang layak mereka terima. Upah untuk satu pekerjaan membersihkan rumah biasanya ditambah dengan pekerjaan pengasuhan baik anak, balita maupun lansia. Hal ini disebabkan karena pekerjaan domestik tidak dihargai dan bahkan dianggap bukan pekerjaan. Sehingga upah yang mereka terima tidak sama dengan mereka yang bekerja di pabrik, rumah makan dan tempat lain meski mengerjakan jenis pekerjaan dan dalam durasi waktu yang sama. Sementara, tanpa kerja-kerja mereka di rumah, kita tidak mungkin bisa melakukan aktivitas lainnya baik itu pekerjaan di publik maupun lainnya.

Keempat, kekerasan yang menghantui. Indonesia adalah negara penyumbang tenaga PRT terbesar di dunia. Menurut survei yang dilakukan oleh ILO dan Universitas Indonesia, jumlah pekerja rumah tangga mencapai 4,2 juta jiwa di tahun 2015. Jumlah ini terus bertambah hingga JALA PRT memprediksi di akhir tahun 2022 bisa mencapai 5 juta jiwa. 

Sayangnya, posisi mereka belum setara dengan pekerja lain. PRT dianggap bukan pekerja. Kita lebih familiar menganggap mereka adalah pembantu atau asisten rumah tangga. Sehingga hal ini menjadi salah satu penyebab mereka adalah kelompok rentan yang paling banyak menerima kekerasan. Menurut catatan JALA PRT sepanjang tahun 2015-2019, terdapat 2.148 kasus kekerasan yang diterima oleh PRT dalam bentuk beragam seperti fisik, psikis dan ekonomi.

Kelima, jalan terjal perjuangan pengesahan RUU. Sejak diwacanakan dari tahun 2004, RUU PPRT keluar masuk sebagai program legislasi nasional. Sudah lebih dari 19 tahun dikaji dan diperjuangkan untuk menjadi Undang-undang. Tanpa UU, PRT tidak dilindungi. 

Pada 2019 JALA PRT mengungkapkan, dari 4.296 PRT di enam kota, 89% tidak mendapatkan jaminan kesehatan sebagai peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan 99% dari mereka tidak memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan. Padahal PRT juga tidak terhindarkan dari potensi bahaya lingkungan kerja yang mengancam mereka kapanpun dan di manapun. 

 

Penulis : Apriyanti Marwah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait